Thursday, February 22, 2007

MUSLIM UNDERGROUND

REVIEW DARI “NEW SOCIAL MOVEMENTS : A CRITICAL REVIEW”
(NELSON A. PICHARDO, Annual Review of Sociology; 1997; 23; ABI;
INFORM Global pg.411)

Pada dekade 60-an dunia sedang dilanda oleh perang dingin antara kapitalisme liberal (negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat) dengan komunisme (Uni Soviet dan Eropa Timur). Di Amerika timbul berbagai gejolak sosial dan budaya yang sangat menarik. Ini bermula dari keterlibatan Amerika secara berkepanjangan dalam perang saudara antara Vietnam utara yang komunis dan Vietnam Selatan yang anti-komunis. Ini adalah perang dimana teknologi modern Amerika tidak mampu menahan semangat dan militansi dari rakyat di sebuah negara dunia ketiga yang kecil. Secara budaya banyak pengaruh dari dunia Timur yang masuk ke Amerika Serikat, misalnya agama Budha dan yoga hingga marijuana. Bahkan, selain pemikiran anti-perang, anti nuklir dan cinta damai, muncul dan berkembang pandangan yang menolak kemapanan dan menolak gaya hidup yang dijalani oleh generasi tua. Sebagian yang paling ekstrim dari kaum muda adalah menolak gaya berpakaian kaum mapan, hingga keharusan menikah, bersekolah ataupun berkantor secara tetap. Mereka dikenal sebagai kaum Hippies. Sikap hidup dari sebagian kelompok berusia muda ini mempertanyakan kembali makna produksi massal yang menghamburkan energi dan menghasilkan limbah. Di era tahun 60-an inilah masa dimana Gerakan Sosial Baru mulai muncul di negara-negara Barat.

Gerakan Sosial Baru merupakan suatu gerakan yang terpisah dari Gerakan Sosial sebelumnya yang diwarnai politik kelas tradisional gerakan buruh. Perbedaan yang mendasar adalah dalam hal tujuan , ideologi, strategi, taktik, dan partisipan. Gerakan Sosial (lama) cenderung kental dengan dimensi kelas (Marxian) yang terbagi dalam dikotomi kelas borjuis dan proletar ; Bergerak pada seputar masalah ekonomi/ re-distribusi ekonomi yang erat kaitannya dengan masa-masa dimana dinamika perekonomian negara-negara Barat memasuki periode industrial serta kental dengan tujuannya untuk mengubah sistem (menggulingkan kekuasaan) secara radikal/ revolusioner.

Paradigma Gerakan Sosial baru bertumpu pada dua klaim utama yaitu : pertama, Gerakan Sosial Baru merupakan produk peralihan dari perekonomian industrial menuju post-industrial. Kedua, Gerakan Sosial Baru bersifat unik dan berbeda dengan Gerakan Sosial di era industrial.

Dari segi ideologi, Gerakan Sosial Baru masih banyak dipengaruhi ideologi sosialisme walaupun tidak lagi didominasi dimensi pertentangan kelas seperti Gerakan Sosial (lama). Tujuan yang ingin dicapai Gerakan Sosial Baru tidak lagi untuk menggulingkan kekuasaan formal, akan tetapi lebih pada memperjuangkan “ruang”/ makna bagi kelompok-kelompok tertentu, memperjuangkan kualitas kehidupan (quality of life), berbicara mengenai life style, serta bergerak dalam masalah non-redistribusi ekonomi, serta non-kekerasan. Walaupun tidak bersinggungan dengan masalah ekonomi, ruh Gerakan Sosial Baru adalah melawan negara dan hegemoni pasar.

Taktik yang digunakan Gerakan Sosial Baru dalam mewujudkan tujuannya berorientasi pada taktik anti-institusional, anti-birokratik, bergerak di luar jalur politik normal, lebih sebagai gerakan kolektif/ aksi bersama tanpa ada kepemimpinan yang ketat dan memobilisasi opini publik untuk meraup pengaruh politik.

Gerakan Sosial Baru dimotori oleh kelompok menengah dan pelajar sebagai partisipannya. Hal ini seolah menegaskan bahwa dalam kerangka Gerakan Sosial Baru, Marxisme sudah tidak dianggap relevan lagi saat ini.

Clauss Offe menyebutkan mengenai partisipan Gerakan Sosial Baru ini yang terbagi dalam tiga sektor : Pertama, Kelas Menengah Baru; Kedua, Kelas Menengah Lama (cont : petani dan pemilik toko). Dua kelas ini adalah mereka yang terlibat langsung dalam produksi ekonomi. Ketiga, Kelompok Periferal (kelompok yang relatif belum pernah dibicarakan, cont : ibu-ibu rumah tangga, pensiunan, mahasiswa, termasuk juga kaum punk dan queer). Kelompok yang ketiga ini merupakan kelompok yang tidak terlibat langsung dalam produksi ekonomi.

Secara kritis Pichardo memandang bahwa Gerakan Sosial Baru banyak muncul dari tradisi politik “kiri” yang beraliran sosialis. Menurut Pichardo, seharusnya aliran politik “kanan” yang beraliran religius atau bahkan yang ultra-nasionalis dapat juga dipahami sebagai bentuk Gerakan Sosial Baru karena awal tujuannya yang memperjuangkan ruang/ makna. Aliran politik “kanan” atau ultra-nasionalis juga lemah secara posisi tawar dalam politik dan termasuk bagian dari mereka yang termajinalkan oleh sistem. Selain itu, teori-teori Gerakan Sosial baru sangat bias Barat, terutama pada pendapat yang menyatakan bahwa partisipan Gerakan Sosial Baru adalah kelas-kelas menengah baru yang lahir dari era post-industrial. Bila pendapat ini ditarik keluar dari konteks masyrakat Barat, akan terasa tidak relevan mengingat bahwa beberapa Gerakan Sosial Baru muncul di negara-negara yang berkembang yang nota bene belum melewati era post-industrial.


KELOMPOK UNDERGROUND : SEKEDAR IDENTITAS ATAUKAH IDEOLOGIS ?

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia ternyata merupakan lahan subur bagi tumbuhnya gerakan-gerakan yang mencoba melawan pasar serta sistem yang dianggap mainstream baik secara langsung maupun tidak langsung. Atau sebaliknya, ada pula gerakan-gerakan yang hanya sekedar memperjuangkan identitas tanpa ada tendensi politis.

Gerakan sosial yang muncul di Indonesia menjadi menarik karena Indonesia sendiri merupakan negara yang belum memasuki era industrial, alih-alih sebagai negara post-industrial. Oleh karena itu, gerakan sosial yang muncul di Indonesia sebagian besar merupakan gerakan yang terinspirasi dari Barat, atau bahkan merupakan bagian dari jejaring organisasi sosial Internasional yang berpusat di negara Barat.

Kelompok Punk, merupakan salah satu gerakan yang sangat ”Barat”. Dalam konteks non-Barat seperti di Indonesia, keberadaan kaum punk menjadi agak kontra produktif, mengingat spirit perjuangan mereka yang anti kapitalisme (yang berasal dari barat) tetapi eksistensi mereka sendiri juga masih berkiblat pada Barat (tempat dimana punk lahir). Lebih parah lagi, para punkers yang ideologis – yang kental dengan sosialisme-komunisme - juga makin-lama makin pudar. Banyak diantara mereka yang hanya mengambil gaya dan musiknya saja.

Perjuangan kaum punk banyak dituangkan dalam bentuk leaflet, zine, dan juga selebaran-selebaran yang bermuatan penentangan atas penjajahan kapitalisme. Walaupun pola organisasi mereka tidak mengikuti kepemimpinan yang ketat, kaum punk punya cara tersendiri untuk merekatkan etos kebersamaan diantara sesama mereka, yaitu dengan menerbitkan zine, newsletter, dan komik dengan semangat revolusi segala bidang. Perjuangan mereka yang anti mainstream menjadikan kelompok ini sering disebut sebagai kelompok underground karena bergerak di luar sistem yang dianggap mapan.

Yang dibenci kalangan underground khususnya adalah ideologi kapitalisme. Oleh karena itu ide-ide yang menentang kapitalisme dan tirani menjadi santapan empuk bagi mereka.

Di Jakarta, Bandung, dan Yogya gaya underground banyak diserap oleh seniman-seniman grafis dengan menerbitkan komik-komik underground. Sebut saja The Dagink Tumbuh yang dimotori Eko Nugroho. Bendel The Dagink Tumbuh terbit tidak menentu dan berisi kompilasi karya-karya komik yang keluar pakem. Reproduksi komik tersebut sepenuhnya mengandalkan mesin fotokopi. Selain itu berkembang pula kompilasi yang berisi karya-karya desain grafis yang diterbitkan dengan nama Melawan Mesin Fotokopi yang diasuh oleh Terra Bajraghosa. Istilah ’melawan’ di sini tidak segarang kedengarannya karena sebetulnya dilandasi alasan yang sangat sederhana yaitu maksudnya seperti bertanding atau bertemu., bagaimana sebuah karya rupa / visual melawan mesin fotokopi. Karya bisa berupa apa saja, dengan teknis apa saja, namun ketika karya tersebut melawan mesin fotokopi, pasti hasilnya akan sangat mengejutkan atau tak terduga. Jadi alasannya utamanya memang berawal dari keinginan bereksperimen dan bermain-main.

Kedua zine di atas merupakan contoh bagaimana kelompok underground tidak selalu oleh mereka yang berideologi punk, tetapi bisa juga hanya sekedar sebagai pengukuh identitas yang diwujudkan dalam produk visual.


MUSLIM UNDERGROUND

Secara teori, Gerakan Sosial Baru selalu dipandang lahir dari tradisi politik sosialisme. Dalam kenyataannya, aliran politik yang diwarnai ideologi lain sangat tidak diperhitungkan dalam wacana Gerakan Sosial Baru. Padahal di dunia ini, selain sosialisme yang menentang kapitalisme, masih ada satu lagi ideologi yaitu Islam. Oleh karena itu, tidak selamanya kalangan underground hanyalah mereka yang mengusung ide sosialisme, sebab pada prinsipnya, kalangan underground adalah mereka yang menentang kapitalisme.

Yang menarik adalah apa yang dilakukan kelompok Liberation Youth dari Bandung. Komunitas ini lahir dari sekelompok anak muda mantan punkers yang telah menanggalkan ideologi sosialis mereka. Sebagai gantinya, mereka bergerak dalam wacana pemikiran ideologi Islam. Akan tetapi mereka tetap masuk ke komunitas punk dan mencoba menyuarakan ideologi Islam ke tengah-tengah kaum punk. Tentu saja, gaya-gaya punk seperti aksi kekerasan melempari fasilitas swasta tidak mereka lakukan.

Cara yang dipakai adalah dengan bahasa-bahasa yang rebellious, penuh pemberontakan, yang termuat dalam zine, sticker, gantungan kunci, dan kaos yang bergaya underground. Secara massif barang-barang tersebut ditebar di berbagai distro, clothing, serta kolektif-kolektif underground di wilayah Bandung. Belakangan menurut mereka, barang-barang yang dibuat di Bandung ternyata diminati hingga keluar daerah.

Zine contra-culture, NO-COMPROMISE (NC) adalah nama buletin terbitan komunitas ini. Tema yang dihadirkan adalah tema-tema yang sesuai dengan karakter majalah NC : ideologis tapi ringan, intelektual tapi jenaka, kritis tapi bersahabat, melawan tapi tanpa kekerasan, tidak kompromi tapi ramah, serta terkadang juga urakan dan mahiwal (=membual). Zine ini juga anti-kaidah jurnalistik dan anti copyright.

Menurut penuturan kru Lib-Youth, pada tahun 2004 lalu beberapa seniman dari Department of Arts Inggris yang akan melakukan Art and Photography Rally Exhibition di Eropa dengan mengambil tema Islam di Indonesia, telah mewawancarai mereka. Saat itu Liberation Youth mendapat kesempatan untuk tampil sebagai pergerakan pemuda Islam politik alternatif disamping nama-nama besar seperti Aa Gym, Arifin Ilham, Ayam Wong Solo, Grup Musik Debu, dan sebagainya.

Apa yang dilakukan Liberation Youth barangkali baru diibaratkan sebagi titik di lautan luas. Tapi setidaknya, seharusnya keberadaan mereka diakui sebagai sisi baru dalam wacana Gerakan Sosial Baru, bahwa ada alternatif ideologi selain sosialisme dalam menentang kapitalisme. Selain itu, keberadaan Liberation Youth menjadi salah satu fenomena yang berusaha mengopinikan bahwa ideologi Islam merupakan ideologi yang non-kekerasan, tidak seperti yang dituduhkan Barat terhadap Islam seperti selama ini.


No comments: