Thursday, February 22, 2007

JILBAB, ANTARA GAYA DAN REKONSTRUKSI DIRI

Dalam salah satu tulisannya, James Danandjaja mencatat bahwa era tahun 80-an merupakan awal munculnya kecenderungan baru di kalangan perempuan muslim terutama di kalangan remaja untuk mengenakan pakaian yang menutupi tubuh dari kepala hingga kaki. Menurut Danandjaja, kecenderungan ini semakin meluas tidak saja dipraktikkan oleh para perempuan muda, tetapi juga oleh generasi yang lebih tua. Misalnya saja para perempuan muslim yang pulang dari naik haji cenderung untuk mengenakan pakaian – yang disebutnya sebagai - gaya Arab. Sebagian besar dari mereka hanya memakai pakaian semacam itu selama sekitar empat puluh hari pertama dan kemudian kembali pada pakaian Barat, namun beberapa diantaranya tetap mengenakannya secara permanen (Danandjaja, 2005: 375). Pakaian gaya Arab yang dimaksud oleh Danandjaja adalah busana yang saat ini populer dengan sebutan jilbab.

Perjalanan panjang pemakaian jilbab di Indonesia memang tergolong keras dan berliku. Sejak masa penjajahan dahulu, pemakaian jilbab sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru (istilah jilbab berarti pakaian terusan panjang yang menutup seluruh tubuh, tetapi di Indonesia lebih mengacu pada kerudung atau penutup kepala, dan kadang diartikan pula sebagai busana yang menutup aurat perempuan. Untuk memudahkan pembicaraan, jilbab disini mengacu pada istilah kerudung). Para siswi sekolah-sekolah thawalib di Sumatera Barat misalnya, sudah menggunakan kerudung yang dikenal dengan istilah balilik (berlilit mengacu pada cara memakai kerudung yang dililitkan di kepala). Begitu juga dengan para pelajar dari sekolah-sekolah semacam Mu’alimat Muhammadiyah. Namun ada pula kebiasaan memakai jilbab yang muncul karena adat seperti para perempuan dari Rimpu di wilayah Bima (NTB). Kebiasaan memakai jilbab bagi mereka bukan karena kesadaran konsep menutup aurat seperti yang diperintahkan agama tetapi disifati sebagai tuntutan adat semata (Jamil, 2002: 11).

Tahun 70-an dicatat sebagai tahun munculnya gelombang kebangkitan pemeluk Islam di dunia internasional yang gaungnya merambah ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia. Sejak saat itu, berbagai kajian keislaman diadakan oleh organisasi-organisasi bernafaskan Islam yang membuahkan kesadaran baru bagi perempuan muslim untuk menutup aurat. Selama kurun waktu 80-90-an jumlah pemakai jilbab terus bertambah, utamanya di kalangan mahasiswa dan pelajar. Namun bersamaan dengan itu, muncullah represi pemerintah (Orde Baru) lewat tangan-tangan birokrsinya yang tidak mengizinkan penggunaan busana muslimah secara bebas, terutama di lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pemerintah.

Orde Baru yang tengah berkuasa pada saat itu menganggap pemakaian jilbab sebagai semacam pernyataan politik seseorang. Memakai pakaian muslim dianggap sebagai semacam pakaian tempur dalam perlawanan terhadap suatu lingkungan non-Muslim atau masyarakat Muslim abangan, sebagaimana persepsi yang dimiliki pemerintah kolonial di masa lampau. Terhadap pakaian gaya Arab, pemerintah Hindia Belanda sering menafsirkannya sebagai salah satu dari banyak “kebangkitan Islam”. Hal ini diadopsi pemerintah Orde Baru yang khawatir pemakaian jilbab yang meluas akan mengakibatkan meningkatnya gejala yang mereka deskripsikan sebagai partikularistis – yaitu sentimen-sentimen Islami (Van Dijk, 2005: 81). Namun akhirnya setelah melalui tarik ulur yang cukup lama, tahun 1991 pemerintah mengeluarkan SK No. 100 yang intinya membolehkan penggunaan jilbab di setiap lembaga pendidikan (Jamil, 2002: 11). Sejak saat itu, laju pemakaian jilbab hampir tak dapat dibendung lagi.


DARI IDA ROYANI HINGGA GITA KDI

Saat ini di ruang-ruang publik, jilbab sudah menjadi pemandangan yang semakin umum. Hampir tidak ada satu tempat, kalangan, atau lembaga pun yang tidak tersentuh jilbab. Di kantor, lembaga –lembaga pemerintah, LSM, hotel, rumah sakit, kalangan ilmuwan, pejabat negara, artis, buruh, pengusaha, semua telah tersentuh jilbab. Berbagai jenis dan model jilbab yang anggun pun semakin banyak dikreasikan.

Menarik diamati, mode jilbab yang yang dikenakan dari satu era ke era selanjutnya ternyata tak lepas dari adanya tren tertentu. Di tahun 80-an, dikenal jilbab a la Ida Royani. Mantan penyanyi pop era 70-an ini memiliki sebuah butik busana muslim. Busana yang dijual sebagian besar amatlah mahal, sekitar 600.000 rupiah (Danandjaja, 2005: 375). Walau sebagian orang Jakarta yang kaya mampu membelinya, namun busana butik Ida Royani sangatlah segmented. Harga dan modelnya terlalu ekseklusif untuk dipakai masyarakat kebanyakan, tetapi hal ini memang merupakan langkah strategis Ida agar kalangan menengah dan atas tidak segan untuk berjilbab. Model gaun-gaun dari butik Ida Royani mempunyai ciri yang khas, yaitu warna-warna polos, penuh dengan draperi, dan terkesan boros kain.

Tahun 90-an, muncul artis Neno Warisman yang mode jilbabnya jadi panutan masyarakat. Neno selalu memakai kerudung ganda. Caranya adalah dengan memakai jilbab dasar, kemudian dilapisi dengan kerudung segitiga atau selendang ringkas dengan warna lain. Saat itu, hampir setiap acara resmi semisal resepsi pernikahan atau wisuda, penulis selalu melihat para perempuan pemakai jilbab meniru gaya Neno Warisman.

Di tahun 2000-an mode jilbab tambah seru seiring menjamurnya toko-toko dan butik-butik busana muslim di kota-kota kecil hingga kota-kota besar, terutama di Jawa. Tetapi lagi-lagi para artislah yang menggiring ke arah mana angin tren bertiup. Salah satu artis tersebut adalah Inneke Koesherawaty. Artis yang di era 80-an terkenal dengan film-film panasnya, di tahun 2000-an menghebohkan publik Indonesia dengan keputusannya untuk berjilbab. Saat itu dia menyatakan menyesali apa yang telah dilakukannya dalam dunia keartisan Dengan berjilbab Inneke berharap dapat merekonstruksi dirinya agar menjadi muslimah yang baik. Pemberitaan infotainmen yang mulai menjamur saat itu turut menggelembungkan popularitas Inneke. Apa yang dikenakan Inneke, dijadikan panutan oleh masyarakat. Salah satunya adalah “jilbab Inneke” yang kemudian populer. Bentuk jilbab gaya Inneke adalah memakai jilbab segitiga yang relatif kecil (tidak lebar), dililitkan ke leher, kemudian dimasukkan ke dalam kerah baju. Untuk mempermanis penampilan, bisa pula ditambahkan selembar – semacam syal – kecil dengan warna lain yang sesuai untuk dililitkan lagi di atas jilbab dasar. Gaya ini cukup lama bertahan, bahkan sampai sekarang. Para eksekutif muda perempuan, mahasiswi, dan ibu-ibu muda amat gemar menggunakan “gaya Inneke” ini.

Selain Inneke, ada pula artis kecil yang telah beranjak remaja yang turut mewarnai tren jilbab, yaitu Marshanda. Pada penampilannya di bulan Ramadhan tahun 2003, selain menggebrak pasaran lagu religius Islam dengan albumnya “Allah” serta penampilan berjilbabnya di sinetron “Bidadari”, apa yang dikenakan Marshanda menjadi tren di masyarakat. Hampir semua tempat yang menjual busana muslim menyediakan kerudung jenis ini, “kerudung Marshanda”. Bentuk kerudung ini simpel dan instan, yaitu berupa kerudung segitiga yang bertali di bagian kepala serta bertaut di bagian leher. Tidak perlu peniti, cukup dipaskan di kepala dan diikat. Selain itu, ada pula model lain, yaitu “kerudung Lutfiah Sungkar”. Hajjah Lutfiah Sungkar adalah seorang penceramah agama yang mengisi acara tetap disebuah televisi swasta nasional. Penampilannya memang khas, dengan jilbab dasar yang kemudian dilapisi dengan selendang lebar yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. “Kerudung Lutfiah Sungkar” digemari terutama oleh ibu-ibu.

Berbagai gaya yang terinspirasi para sebriti idola publik tersebut ternyata tidak seheboh yang paling mutakhir saat tulisan ini dibuat. Di awal tahun 2006 ini marilah sejenak kita cermati model seperti apa yang sedang digandrungi. Berdasar pengamatan penulis, sejak pertengahan tahun 2005 lalu, di ruang-ruang publik hampir semua perempuan muslim mulai mengenakan penutup yang bermodel sama di kepalanya. Ini adalah fenomena yang langka, karena se-tren apapun suatu gaya jilbab, belum pernah terlihat begitu masif seperti model tersebut. Model jilbab yang dimaksud adalah jilbab berbahan kaos (semacam bahan kaus untuk membuat blus strech yang biasanya ketat), berlapis spon dan membentuk ‘kanopi’ di bagian dahi dengan pola jahit tindas horizontal. Pola jahitan jilbab ini sangat inovatif karena menghasilkan penutup kepala yang bila dipakai akan membentuk kepala dan sekeliling leher secara ketat, tetapi sekaligus berdraperi. Coraknya bermacam-macam, mulai dari yang polos hingga berbunga-bunga. Warnanya juga sangat beragam, mulai dari warna cerah hingga warna gelap. Hebatnya, semua perempuan muslim sepertinya suka dengan jenis ini.

Dalam setiap kesempatan penulis ketika harus melakukan interaksi sosial di tengah masyarakat, kecenderungan ini sungguh dahsyat. Dalam semua kesempatan : arisan ibu-ibu, menjenguk bayi, menjenguk orang sakit, di majelis-majelis taklim, bahkan di layar-layar televisi, semua perempuan yang tampil berjilbab, hampir dipastikan sebagian besar memakai model ini. Lalu, darimana sumber inspirasi model jilbab ini?

Berdasar penelusuran penulis dari toko-toko ataupun dari mengorek info ke para perempuan berjilbab, semua menyatakan bahwa model ini dinamai “jilbab Gita KDI”. KDI merupakan singkatan Kontes Dangdut TPI. Sebenarnya memang akan terasa agak membingungkan ketika ada seorang pemakai jilbab menjadi penyanyi dangdut. Tetapi begitulah kenyataannya, citra pemakai jilbab sekarang tidak lagi dicap ‘angker’ sebagaimana awal kemunculannya dulu. Kontes dangdut ini adalah salah satu acara andalan stasiun televisi TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), yang sengaja dibuat demi menyaingi kontes-kontes sejenis tetapi yang beraliran musik pop semacam AFI (Akademi Fantasi Indosiar) atau Indonesian Idol di RCTI. Hingga saat ini KDI telah diselenggarakan hingga KDI 3 (KDI 4 masih menggelar audisi ketika tulisan ini dibuat). Salah satu pemenang KDI 2 tahun 2004 yang lalu adalah Gita, seorang perempuan muda berjilbab. Penampilannya yang berbeda dengan pedangdut pada umumnya, menarik simpati publik dan menghantarkannya menjadi pemenang kontes yang dianggap cukup bergengsi di kalangan pecinta musik dangdut ini. Pada malam-malam menjelang final hingga malam final puncak acara, Gita selalu mengenakan jilbab khas (dengan gambaran seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas). Rupanya, jilbab yang dipakai Gita ini sekarang menjadi kerudung ‘sejuta umat’.


BEBERAPA ALASAN

Henk Schulte Nordholt (2005: 47) memberikan perhatian lebih jauh mengenai berbagai subjek yang berkaitan dengan tema penampilan luar dengan mengetengahkan suatu pernyataan :

Susan Brenner telah mencoba untuk menjelaskan mengapa para perempuan muda dan terpelajar di Jawa Tengah memilih memakai kerudung. Suatu pendekatan struktural mungkin akan mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan ini adalah subjek tekanan eksternal dan bahwa “pilihan” mereka merupakan hasil dari sistem yang didominasi oleh pria. Sebaliknya, Brenner memperlihatkan bahwa para perempuan itu sendiri memutuskan untuk mengubah pakaian mereka sebagai proses kesadaran diri dan rekonstruksi diri. Cara berpakaian yang baru menyebabkan mereka mengubah perilaku.

Penulis sependapat dengan pernyataan di atas. Akan tetapi sayangnya, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa penelitian Susan Brenner belum dipublikasikan sehingga kita belum dapat mengetahui poin-poin secara lengkap pemikiran yang disuguhkan Brenner. Menurut pendapat penulis, berdasarkan alasannya, pemakai jilbab dapat dibagi dalam dua kategori : yang pertama adalah mereka yang berjilbab dengan alasan sekedar sebagai gaya, (dan) atau sebagai ‘pengguguran kewajiban’ dalam kehidupan sosial. Yang kedua adalah mereka yang berjilbab dengan alasan sebagai upaya proses kesadaran diri dan rekonstruksi diri sebagaimana yang dinyatakan oleh Brenner.

Konsep jilbab didasarkan pada kewajiban agama Islam bagi pemeluknya untuk menutup aurat dengan jilbab. Aurat perempuan menurut Islam adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Aurat tidak boleh diperlihatkan kecuali terhadap suami atau mahramnya (saudara atau kerabat dengan kriteria tertentu), yang implikasinya secara umum mewajibkan perempuan menutup auratnya terutama bila di luar ataupun keluar rumah. Pada prakteknya, tidak semua perempuan muslim mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama mengenai konsep tersebut walaupun wejangan agama dalam berbagai kajian keislaman seringkali menyinggung hal ini. Di sisi lain tokoh-tokoh agama sebagian besar adalah tokoh yang berpengaruh dalam membentuk opini di tengah masyarakat tradisional dan mampu mempengaruhi kontrol terhadap masyarakat. Maka terjadilah suatu kompromi antara para perempuan dengan para tokoh agama (menurut pendapat saya, yang patut dicatat di sini adalah bahwa ‘tokoh agama’ yang dimaksud bukanlah representasi dari dominasi pria karena saat ini mulai muncul para dai perempuan yang justru banyak memberi andil). Kompromi itu terwujud misalnya dengan jilbab yang dikenakan hanya ketika mengikuti acara-acara bertema keagamaan. Selebihnya, dalam kondisi-kondisi yang seharusnya menutup aurat, banyak perempuan muslim yang tidak melakukannya.

Di bagian lain, penulis menemui para pemakai jilbab yang mengenakan jilbab lebih karena alasan gaya. Bagi sebagian orang, mengenakan jilbab memberi keuntungan-keuntungan secara fisik misalnya untuk menutupi kekurangan tubuh atau sekedar menarik respek dari orang lain. Ada pula yang mengenakan jilbab tanpa alasan yang spesifik, lebih karena “pengen aja”, “kayaknya enak”, dan sebagainya.

Pada kategori kedua, berdasarkan kesaksian yang penulis kumpulkan, para pemakai jilbab dengan alasan sebagai upaya proses kesadaran diri dan rekonstruksi diri mempunyai pola yang khas. Pola-pola itu biasanya diawali dengan adanya suatu kondisi semacam mental shock dari suatu peristiwa yang dialami, berlanjut dengan perenungan diri yang kemudian memunculkan dorongan internal untuk berjilbab, yang biasanya revolusioner. Pola ini terjadi di semua kalangan, termasuk kalangan selebriti. Misalnya saja pengakuan Ratih Sang, seorang peragawati senior Indonesia (dalam sebuah tayangan televisi “Ngaji Yuuk” yang dipandu ustadz Jefri Al Buchory di SCTV saat Ramadhan tahun 2005 yang lalu). Ketika Ratih Sang ditanya oleh pemandu acara apa alasan Ratih untuk berjilbab, Ratih menjawab bahwa kesadarannya muncul tahun 2002 lalu ketika ayahandanya meninggal dunia. Saat itu Ratih merasa sangat kehilangan serta amat terpukul.

Saya merasa sedih sekali. Saat itu saya teringat dengan salah satu hadits nabi, bahwa orang yang meninggal tidak akan membawa apapun kecuali sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak yang sholeh. Satu hal yang kemudian saya pikirkan adalah : saya ingin jadi anak sholeh bagi ayah saya. Selama ini saya merasa belum sholeh sama sekali. Nah, dari situlah saya tergerak untuk berjilbab, karena berjilbab adalah salah satu hal yang diperintahkan Allah yang saya belum melakukannya.

Ratih tidak menganggap jilbab sebagai penghalang profesinya, sementara profesi peragawati masih dianggap kontradiktif dengan penampilan berjilbab. Sebagai kompromi, Ratih Sang menciptakan genre modeling Islami dengan mendirikan sekolah mode, menerbitkan majalah, dan mengadakan even-even peragaan busana Islami.

Pola serupa juga dialami oleh Ida Royani. Dalam sebuah infotainmen “Ceriwis Yo Wis” di Trans TV bulan November 2005 lalu, Indy Barens sang pembawa acara menanyai Ida Royani mengenai hal apa yang mendorong Ida hingga tergerak untuk berjilbab. Saat itu Ida Royani menjelaskan bahwa sebelum berjilbab dia adalah artis yang ‘semau gue’ dalam berpakaian. Misalnya saja ketika dia memutuskan untuk memakai celana jeans gaya robek-robek, Ida tidak sekedar bercelana robek di lutut, tetapi robeknya dia sengaja di bagian pangkal paha atau bahkan di pantat. Suatu hal yang dianggap ‘berani’ kala itu. Namun suatu hari Ida yang ‘badung’ mendatangi suatu pengajian, dimana pemberi wejangan menyinggung masalah menutup aurat.

Nah, pak ustadz-nya itu mengatakan bahwa menurut Qur’an perempuan muslim yang kelihatan rambutnya, walau sehelai sekalipun, dia akan diazab sama Allah di neraka. Sama saja, rambut di atas sama rambut di bawah, semuanya hukumnya haram kalau tidak ditutup. Ya cuma sesimpel itu aja pengajian yang saya denger. Saya cukup shock mendengar hal itu. Tapi entah kenapa, saya kemudian selalu memikirkannya. Saya kemudian jadi banyak tanya ke orang-orang yang saya anggap lebih tahu...sampai akhirnya saya putuskan untuk mantap berjilbab. Alhamdulillah sampai sekarang.

Bagi perempuan berjilbab pada ketegori kedua ini, berjilbab adalah suatu dorongan internal dan sama sekali tidak berasal dari tekanan eksternal. Berdasar pengamatan penulis, memang ada pemakai jilbab yang memakai jilbab karena paksaan orang lain, akan tetapi biasanya tidak kita dapati ke-konsisten-an antara pakaian dengan perilakunya, ataupun ke-konsisten-an dalam pemakaiannya. Pemakai jilbab hasil paksaan akan melepaskan jilbabnya begitu ada kesempatan. Kondisi ini berkebalikan dengan pemakai jilbab yang didorong keinginan diri sendiri. Dia tidak akan melepas jilbabnya – bahkan menganggap perintah tersebut sebagai penghinaan besar – dalam kondisi apapun sejauh sesuai aturan dalam Islam. Pemakai jilbab dengan dorongan internal biasanya akan berusaha sekuat tenaga untuk segera berjilbab begitu keinginan itu muncul, untuk kemudian memakainya sekonsisten mungkin. Pada saat itu, mereka akan berusaha agar pakaian mereka dapat memberi dampak rekonstruktif bagi kepribadiannya.


PENUTUP

Dua kategori berdasar alasan sebagaimana diuraikan di atas, keduanya menurut hemat penulis sesungguhnya sama-sama bernilai rekonstruktif. Bagi kalangan yang menggunakan jilbab sebagai sekedar gaya atau sebagai kompromi sosial, masih ada harapan untuk mengubahnya menjadi suatu kesadaran. Bagi kategori kedua, kehadiran mereka akan sedikit banyak memberi pengaruh bagi kategori pertama. Akan tetapi jilbab hanyalah salah satu dari serba-serbi berpakaian. Keberadaannya merupakan bagian dari untaian peristiwa budaya yang dinamis dan berubah. Dalam dimensi sosial, apabila spirit jilbab yang bermakna rekonstruksi dapat diterapkan dalam struktur sosial, maka akan memunculkan rekonstruksi sosial yang lebih baik serta menghapus kekecewaan masyarakat saat ini terhadap konstruksi sosial yang ada.

Kepribadian tidak dapat diukur dengan pakaian, akan tetapi cara berpakaian seseorang akan mencerminkan kepribadian seseorang. Melalui pakaian, dandanan, dan tingkah laku pada tiap-tiap masa menyiratkan sebuah pernyataan yang sangat kuat tentang kelas, status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh menawarkan petunjuk-petunjuk transformasi sosial yang luas (Taylor, 2005: 121).

Fenomena jilbab dapat pula dimaknai sebagai gejala komodifikasi (menjadi komoditas) di pentas konsumsi massa. Ketika kerudung dan jilbab serta fashion Islami lain kian menjadi salah satu ikon gaya hidup dalam fashion, dan mulai menjadi bisnis besar, serta banyak dipakai para artis dalam dunia hiburan seperti sekarang ini, maka hal ini tak ubahnya dengan memberi label “Islamisasi” dalam perilaku konsumtif di dunia mode dan shopping. Padahal mungkin yang terjadi sebenarnya adalah kapitalisasi Islam atau penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, dunia bisnis, atau kapitalisme itu sendiri (Ibrahim, 2004: 11).

MUSLIM UNDERGROUND

REVIEW DARI “NEW SOCIAL MOVEMENTS : A CRITICAL REVIEW”
(NELSON A. PICHARDO, Annual Review of Sociology; 1997; 23; ABI;
INFORM Global pg.411)

Pada dekade 60-an dunia sedang dilanda oleh perang dingin antara kapitalisme liberal (negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat) dengan komunisme (Uni Soviet dan Eropa Timur). Di Amerika timbul berbagai gejolak sosial dan budaya yang sangat menarik. Ini bermula dari keterlibatan Amerika secara berkepanjangan dalam perang saudara antara Vietnam utara yang komunis dan Vietnam Selatan yang anti-komunis. Ini adalah perang dimana teknologi modern Amerika tidak mampu menahan semangat dan militansi dari rakyat di sebuah negara dunia ketiga yang kecil. Secara budaya banyak pengaruh dari dunia Timur yang masuk ke Amerika Serikat, misalnya agama Budha dan yoga hingga marijuana. Bahkan, selain pemikiran anti-perang, anti nuklir dan cinta damai, muncul dan berkembang pandangan yang menolak kemapanan dan menolak gaya hidup yang dijalani oleh generasi tua. Sebagian yang paling ekstrim dari kaum muda adalah menolak gaya berpakaian kaum mapan, hingga keharusan menikah, bersekolah ataupun berkantor secara tetap. Mereka dikenal sebagai kaum Hippies. Sikap hidup dari sebagian kelompok berusia muda ini mempertanyakan kembali makna produksi massal yang menghamburkan energi dan menghasilkan limbah. Di era tahun 60-an inilah masa dimana Gerakan Sosial Baru mulai muncul di negara-negara Barat.

Gerakan Sosial Baru merupakan suatu gerakan yang terpisah dari Gerakan Sosial sebelumnya yang diwarnai politik kelas tradisional gerakan buruh. Perbedaan yang mendasar adalah dalam hal tujuan , ideologi, strategi, taktik, dan partisipan. Gerakan Sosial (lama) cenderung kental dengan dimensi kelas (Marxian) yang terbagi dalam dikotomi kelas borjuis dan proletar ; Bergerak pada seputar masalah ekonomi/ re-distribusi ekonomi yang erat kaitannya dengan masa-masa dimana dinamika perekonomian negara-negara Barat memasuki periode industrial serta kental dengan tujuannya untuk mengubah sistem (menggulingkan kekuasaan) secara radikal/ revolusioner.

Paradigma Gerakan Sosial baru bertumpu pada dua klaim utama yaitu : pertama, Gerakan Sosial Baru merupakan produk peralihan dari perekonomian industrial menuju post-industrial. Kedua, Gerakan Sosial Baru bersifat unik dan berbeda dengan Gerakan Sosial di era industrial.

Dari segi ideologi, Gerakan Sosial Baru masih banyak dipengaruhi ideologi sosialisme walaupun tidak lagi didominasi dimensi pertentangan kelas seperti Gerakan Sosial (lama). Tujuan yang ingin dicapai Gerakan Sosial Baru tidak lagi untuk menggulingkan kekuasaan formal, akan tetapi lebih pada memperjuangkan “ruang”/ makna bagi kelompok-kelompok tertentu, memperjuangkan kualitas kehidupan (quality of life), berbicara mengenai life style, serta bergerak dalam masalah non-redistribusi ekonomi, serta non-kekerasan. Walaupun tidak bersinggungan dengan masalah ekonomi, ruh Gerakan Sosial Baru adalah melawan negara dan hegemoni pasar.

Taktik yang digunakan Gerakan Sosial Baru dalam mewujudkan tujuannya berorientasi pada taktik anti-institusional, anti-birokratik, bergerak di luar jalur politik normal, lebih sebagai gerakan kolektif/ aksi bersama tanpa ada kepemimpinan yang ketat dan memobilisasi opini publik untuk meraup pengaruh politik.

Gerakan Sosial Baru dimotori oleh kelompok menengah dan pelajar sebagai partisipannya. Hal ini seolah menegaskan bahwa dalam kerangka Gerakan Sosial Baru, Marxisme sudah tidak dianggap relevan lagi saat ini.

Clauss Offe menyebutkan mengenai partisipan Gerakan Sosial Baru ini yang terbagi dalam tiga sektor : Pertama, Kelas Menengah Baru; Kedua, Kelas Menengah Lama (cont : petani dan pemilik toko). Dua kelas ini adalah mereka yang terlibat langsung dalam produksi ekonomi. Ketiga, Kelompok Periferal (kelompok yang relatif belum pernah dibicarakan, cont : ibu-ibu rumah tangga, pensiunan, mahasiswa, termasuk juga kaum punk dan queer). Kelompok yang ketiga ini merupakan kelompok yang tidak terlibat langsung dalam produksi ekonomi.

Secara kritis Pichardo memandang bahwa Gerakan Sosial Baru banyak muncul dari tradisi politik “kiri” yang beraliran sosialis. Menurut Pichardo, seharusnya aliran politik “kanan” yang beraliran religius atau bahkan yang ultra-nasionalis dapat juga dipahami sebagai bentuk Gerakan Sosial Baru karena awal tujuannya yang memperjuangkan ruang/ makna. Aliran politik “kanan” atau ultra-nasionalis juga lemah secara posisi tawar dalam politik dan termasuk bagian dari mereka yang termajinalkan oleh sistem. Selain itu, teori-teori Gerakan Sosial baru sangat bias Barat, terutama pada pendapat yang menyatakan bahwa partisipan Gerakan Sosial Baru adalah kelas-kelas menengah baru yang lahir dari era post-industrial. Bila pendapat ini ditarik keluar dari konteks masyrakat Barat, akan terasa tidak relevan mengingat bahwa beberapa Gerakan Sosial Baru muncul di negara-negara yang berkembang yang nota bene belum melewati era post-industrial.


KELOMPOK UNDERGROUND : SEKEDAR IDENTITAS ATAUKAH IDEOLOGIS ?

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia ternyata merupakan lahan subur bagi tumbuhnya gerakan-gerakan yang mencoba melawan pasar serta sistem yang dianggap mainstream baik secara langsung maupun tidak langsung. Atau sebaliknya, ada pula gerakan-gerakan yang hanya sekedar memperjuangkan identitas tanpa ada tendensi politis.

Gerakan sosial yang muncul di Indonesia menjadi menarik karena Indonesia sendiri merupakan negara yang belum memasuki era industrial, alih-alih sebagai negara post-industrial. Oleh karena itu, gerakan sosial yang muncul di Indonesia sebagian besar merupakan gerakan yang terinspirasi dari Barat, atau bahkan merupakan bagian dari jejaring organisasi sosial Internasional yang berpusat di negara Barat.

Kelompok Punk, merupakan salah satu gerakan yang sangat ”Barat”. Dalam konteks non-Barat seperti di Indonesia, keberadaan kaum punk menjadi agak kontra produktif, mengingat spirit perjuangan mereka yang anti kapitalisme (yang berasal dari barat) tetapi eksistensi mereka sendiri juga masih berkiblat pada Barat (tempat dimana punk lahir). Lebih parah lagi, para punkers yang ideologis – yang kental dengan sosialisme-komunisme - juga makin-lama makin pudar. Banyak diantara mereka yang hanya mengambil gaya dan musiknya saja.

Perjuangan kaum punk banyak dituangkan dalam bentuk leaflet, zine, dan juga selebaran-selebaran yang bermuatan penentangan atas penjajahan kapitalisme. Walaupun pola organisasi mereka tidak mengikuti kepemimpinan yang ketat, kaum punk punya cara tersendiri untuk merekatkan etos kebersamaan diantara sesama mereka, yaitu dengan menerbitkan zine, newsletter, dan komik dengan semangat revolusi segala bidang. Perjuangan mereka yang anti mainstream menjadikan kelompok ini sering disebut sebagai kelompok underground karena bergerak di luar sistem yang dianggap mapan.

Yang dibenci kalangan underground khususnya adalah ideologi kapitalisme. Oleh karena itu ide-ide yang menentang kapitalisme dan tirani menjadi santapan empuk bagi mereka.

Di Jakarta, Bandung, dan Yogya gaya underground banyak diserap oleh seniman-seniman grafis dengan menerbitkan komik-komik underground. Sebut saja The Dagink Tumbuh yang dimotori Eko Nugroho. Bendel The Dagink Tumbuh terbit tidak menentu dan berisi kompilasi karya-karya komik yang keluar pakem. Reproduksi komik tersebut sepenuhnya mengandalkan mesin fotokopi. Selain itu berkembang pula kompilasi yang berisi karya-karya desain grafis yang diterbitkan dengan nama Melawan Mesin Fotokopi yang diasuh oleh Terra Bajraghosa. Istilah ’melawan’ di sini tidak segarang kedengarannya karena sebetulnya dilandasi alasan yang sangat sederhana yaitu maksudnya seperti bertanding atau bertemu., bagaimana sebuah karya rupa / visual melawan mesin fotokopi. Karya bisa berupa apa saja, dengan teknis apa saja, namun ketika karya tersebut melawan mesin fotokopi, pasti hasilnya akan sangat mengejutkan atau tak terduga. Jadi alasannya utamanya memang berawal dari keinginan bereksperimen dan bermain-main.

Kedua zine di atas merupakan contoh bagaimana kelompok underground tidak selalu oleh mereka yang berideologi punk, tetapi bisa juga hanya sekedar sebagai pengukuh identitas yang diwujudkan dalam produk visual.


MUSLIM UNDERGROUND

Secara teori, Gerakan Sosial Baru selalu dipandang lahir dari tradisi politik sosialisme. Dalam kenyataannya, aliran politik yang diwarnai ideologi lain sangat tidak diperhitungkan dalam wacana Gerakan Sosial Baru. Padahal di dunia ini, selain sosialisme yang menentang kapitalisme, masih ada satu lagi ideologi yaitu Islam. Oleh karena itu, tidak selamanya kalangan underground hanyalah mereka yang mengusung ide sosialisme, sebab pada prinsipnya, kalangan underground adalah mereka yang menentang kapitalisme.

Yang menarik adalah apa yang dilakukan kelompok Liberation Youth dari Bandung. Komunitas ini lahir dari sekelompok anak muda mantan punkers yang telah menanggalkan ideologi sosialis mereka. Sebagai gantinya, mereka bergerak dalam wacana pemikiran ideologi Islam. Akan tetapi mereka tetap masuk ke komunitas punk dan mencoba menyuarakan ideologi Islam ke tengah-tengah kaum punk. Tentu saja, gaya-gaya punk seperti aksi kekerasan melempari fasilitas swasta tidak mereka lakukan.

Cara yang dipakai adalah dengan bahasa-bahasa yang rebellious, penuh pemberontakan, yang termuat dalam zine, sticker, gantungan kunci, dan kaos yang bergaya underground. Secara massif barang-barang tersebut ditebar di berbagai distro, clothing, serta kolektif-kolektif underground di wilayah Bandung. Belakangan menurut mereka, barang-barang yang dibuat di Bandung ternyata diminati hingga keluar daerah.

Zine contra-culture, NO-COMPROMISE (NC) adalah nama buletin terbitan komunitas ini. Tema yang dihadirkan adalah tema-tema yang sesuai dengan karakter majalah NC : ideologis tapi ringan, intelektual tapi jenaka, kritis tapi bersahabat, melawan tapi tanpa kekerasan, tidak kompromi tapi ramah, serta terkadang juga urakan dan mahiwal (=membual). Zine ini juga anti-kaidah jurnalistik dan anti copyright.

Menurut penuturan kru Lib-Youth, pada tahun 2004 lalu beberapa seniman dari Department of Arts Inggris yang akan melakukan Art and Photography Rally Exhibition di Eropa dengan mengambil tema Islam di Indonesia, telah mewawancarai mereka. Saat itu Liberation Youth mendapat kesempatan untuk tampil sebagai pergerakan pemuda Islam politik alternatif disamping nama-nama besar seperti Aa Gym, Arifin Ilham, Ayam Wong Solo, Grup Musik Debu, dan sebagainya.

Apa yang dilakukan Liberation Youth barangkali baru diibaratkan sebagi titik di lautan luas. Tapi setidaknya, seharusnya keberadaan mereka diakui sebagai sisi baru dalam wacana Gerakan Sosial Baru, bahwa ada alternatif ideologi selain sosialisme dalam menentang kapitalisme. Selain itu, keberadaan Liberation Youth menjadi salah satu fenomena yang berusaha mengopinikan bahwa ideologi Islam merupakan ideologi yang non-kekerasan, tidak seperti yang dituduhkan Barat terhadap Islam seperti selama ini.


SI MATA KEPITING

Laju motor kuperlambat saat memasuki halaman rumah. Seperti biasa aku pulang menjelang sore dan berharap bisa segera melihat wajah anakku. Dari mulut pintu, kudapati keadaan rumah ternyata sepi. Balitaku ternyata tengah tertidur, Cici (23 tahun) menjaganya di rumah. Tapi tidak seperti biasa, wajahnya nampak muram dengan pandangan yang selalu tertunduk. Ini adalah bulan kesekian di pertengahan tahun 2003 dia datang ke rumah atas permintaanku. Cici, seorang perempuan asal Bangka. Di Yogya dia tidak punya siapa-siapa. Semenjak Lulus D-1, dia berkonflik dengan orang tuanya karena suatu perbedaan pendapat. Sejak saat itu dia mau bekerja apa saja asal bisa tetap tinggal di Yogya. Ketika dia datang kepadaku, aku tidak punya lowongan apapun kecuali mempekerjakannya untuk membantu pekerjaan rumah tangga sehari-hari sekaligus menjemput anakku yang saat itu masih Play Group. Cici dengan suka hati mau menerima pekerjaan ini walau terdengar tidak bergengsi.

“Assalamualakum, “ aku beruluk salam.

“Wa alaikum salam, “ jawabnya. Cici duduk lesehan di depan televisi yang menyala, menghadapi setumpuk hasil cucian yang siap disetrika. Tangannya sibuk memilah-milah baju. Pandangannya mengerling sejenak ke arahku untuk kemudian kembali menyibukkan diri dengan pakaian-pakaian itu, seolah dengan kesibukan itu dia ingin lari dari pandanganku yang penuh tanya. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya.

”Ada apa, Ci? Kok kayaknya murung banget. Ada masalah, po?” tanyaku dengan nada setengah mendesak. ” Ayo, ngomong aja. Nggak papa, kok”.

Sejenak Cici menggelengkan kepalanya. Tetapi belum lagi dia menjawab, air mata menetes deras bercucuran. Terbata-bata dia menceritakan kegundahan hatinya. Tentang surat dari orang tuanya, tentang ketidak setujuan orang tuanya terhadap apa yang dia ingin lakukan, tentang adiknya, dan segala macam konflik yang selama ini terjadi.

Tangan Pipit bergerak menyeka mata, tapi sepertinya dia kesulitan menyeka hidung. Sekotak tissue segera kusodorkan ke hadapannya. Pipit pun melanjutkan tangisnya. Matanya memerah di penuhi air mata, hidung dan ujung-ujung bibirnya tertarik-tarik ke bawah tiap kali dia menceritakan kalimat demi kalimat.

***

Lain waktu, di suatu sore. Kulihat Cici seperti biasa duduk di depan teve yang menyala, dengan setumpuk bakal setrikaan yang menebarkan aroma pelembut pakaian. Wajahnya tidak semuram waktu itu, tetapi ada air mata yang menggenang di sudut-sudut matanya. Naluriku mencemaskan keadaannya. Ketika kutanya mengapa, Cici kembali menggelengkan kepalanya berkali-kali.

”Tidak ada apa-apa kok, mbak. Tuh, aku cuma lihat itu”, dagunya mendongak sekilas menunjuk ke arah teve. Tangannya tetap sibuk tak henti bekerja.

Di layar teve kulihat film India sedang ditayangkan. Adegannya tidak jelas benar bagiku. Tetapi pasti alur ceritanya yang membuat Cici menangis.

”Aku ini kata orang mata kepiting, mbak. Jadi gampang nangis. Kepiting itu kan tampak nangis terus, to. He...he...he...” Cici tertawa menyeringai dengan tangan yang sibuk menghapus air mata.

Di waktu-waktu lain dalam pengamatanku Cici memang gampang sekali mengeluarkan air mata. Puncaknya adalah ketika dia berpamitan untuk selamanya pulang ke Bangka, kembali ke orangtuanya. Ketika itu kusodorkan uang dalam amplop sebagai gaji terakhir sekaligus sokongan ongkos kepulangannya. Air matanya kembali tak terbendung, bibirnya berganti-ganti berubah ekspresi : senyuman, kemudian tarikan bibir ke bawah, begitu berulang. Mulutnya sibuk mengeluarkan ungkapan terima kasih. Begitupun ketika akhirnya dia benar-benar telah pergi. Ketika pertama kali kiriman e-mail foto-foto anakku dia terima melalui warnet, Cici menjawabnya dengan seuntai kalimat bahwa dia menangis saking gembiranya.

Menangis bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan ini. Kita biasa menangis apabila sedih, kecewa, atau justru karena terlalu bahagia. Tetapi terkadang ada orang-orang tertentu yang punya kebiasaan menangis lebih dari yang lain. Barangkali dalam khasanah pergaulan, kita menyebut orang itu sebagai orang yang cengeng. Tetapi secara ilmiah, menangis adalah mekanisme biologis yang terbukti dapat mengurangi rasa menderita dan melepaskan tekanan jiwa secara sesaat.

Menangis sering dimaknai negatif sebagai keterpurukan dan bagi kaum pria sebagai ketidakjantanan. Walaupun kita memang tidak dapat menyelesaikan masalah hanya dengan menangis, tetapi seharusnya orang tidak dilarang untuk menangis. Menangis secukupnya dan bertindaklah. Itu sangat solutif dibanding hanya menangis saja atau bertindak saja tetapi dengan dada yang penuh dengan gumpalan yang menyesakkan.

Bagi seorang Cici, menangis adalah saluran pelampian kekesalan atas masalah yang tak kunjung selesai sekaligus menghindarkan dia dari depresi yang lebih berat. Menangis justru merupakan sarana untuk bangkit. Walau dengan seringnya dia menangis, Cici harus rela dijuluki si Mata Kepiting.